RUANG PENJARA. PESAKITAN TAMPAK TIDUR SEPERTI ANJING. DARI ATAS
LANGIT-LANGIT JATUH BUKU DAN BOLPOINT MENIMPA MUKANYA. TERDENGAR SUARA
SESEORANG: Besok, hari terindahmu, --menghadapi duabelas regu pasukan tembak.
Tulislah biografi hidupmu, biar semuanya jelas. Siapa tahu kau jadi figure yang
fantastic bagi generasi mendatang?
ORANG ITU TERTAWA. PESAKITAN BANGUN SECARA PERLAHAN-LAHAN.
MELIHAT SEKITAR. MELIHAT KE ARAH SUMBER SUARA. MENGAMBIL BUKU DAN BOLPOINT.
PESAKITAN TERTAWA LEPAS. BERNYANYI-NYANYI RIANG. SEPERTI MENULISKAN SESUATU DI
DALAM BUKU TERSEBUT.
Seseorang datang dan pergi di kehidupanku. Seperti angin waktu yang kerap menyimpan ribuan rahasia. Begitulah adanya hidupku. Aku terbentuk. Terpatok. Terpenjara. Terkontaminasi. Terseok-seok. Menjadi sesosok diriku. Lahir dan tumbuh, sampai akhirnya terpatri di tempat ini. BANGKIT. MENCARI PUNTUNG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MEMAINKAN ASAPNYA. TERTAWA. MENARI-NARI KECIL BAK BALERINA.
Seseorang datang dan pergi di kehidupanku. Seperti angin waktu yang kerap menyimpan ribuan rahasia. Begitulah adanya hidupku. Aku terbentuk. Terpatok. Terpenjara. Terkontaminasi. Terseok-seok. Menjadi sesosok diriku. Lahir dan tumbuh, sampai akhirnya terpatri di tempat ini. BANGKIT. MENCARI PUNTUNG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MEMAINKAN ASAPNYA. TERTAWA. MENARI-NARI KECIL BAK BALERINA.
Sejarah. Yap. Semua orang pada akhirnya sama; saling berebut
tentang sejarah. Menuliskannya pada lembar demi lembar buku sejarah. Tanpa
peduli ada yang membacanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, hanya dibaca oleh
diri kita sendiri. SEPERTI MENDENGAR SUARA. Apa? Yap. Benar. Pendapat anda
benar sekali? Bukankah di hadapan Sang Pencipta, yang kita sodorkan dan
diperiksa adalah lembar demi lembar sejarah hidup dan kehidupan kita? Itulah
fungsinya malaikat, sebagai asisten kita yang dianugrahkan dari Sang Pencipta.
HENING SEJENAK. TIBA-TIBA SEPERTI MENGAMUK Asu. Bangsat. Apa peduliku dengan
dogma-dogma? Ketika lonceng gereja berbunyi, tak ada lagi biara-biara suci. Tak
adalagi nyanyian koor. Ketika gema adzan berkumandang, tak adalagi kiai yang
membawa santri-santinya untuk berjamaah. LANTANG SUARANYA Aggggggggggh,…
EMOSINYA MENINGGI. Ibuku, baru saja satu hari meninggal, bapaku sudah kawin
lagi. Aku dan adikku ditendangnya dari rumah. Agama. Apa yang aku dapat dari
pemahaman nilai-nilai religious yang ditanam sejak kecil oleh ibu dan bapakku?
Sementara kelakuan bapakku tak ubahnya anjing! SEPEERTI MENDENGAR ORANG
BERBICARA. LIRIK KANAN LIRIK KIRI. KEPALA DAN TUBUHNYA BERPUTAR-PUTAR.
SUARA-SUARA ITU SEMAKIN TAJAM MENGHUJAMI PIKIRANYA “KASIH INSPIRASI MUSIK”.
Diam! Tidak! Aku tidak sensitrif? Tapi aku bernbicara fakta. Jangan menghakimi
aku begitu rupa? Ini urusan pribadiku. Apa hak kalian? Kalaulah ayah dan ibu
tiriku Mati ditanganku, bukan semata-mata alasan klise, balas dendam. Tetapi
ini murni sebagai bahasa nurani. Aku tidak bersekutu dengan setan! Kasihan dong
iblis, jadi kambing hitam terus? Ini naluriku untuk bertindak KEPADA PENONTON.
KEPADA ORANG-ORANG YANG ADA DALAM IMAJINASINYA. Wah kacau rupanya kalian tidak
hatam dengan doa? Doa itu perbuatan. Doa itu keinginan. Doa itu angan-angan.
Doa itu harapan. Doa itu tingkah-laku kita. Itulah kemurahan Sang Pencipta,
atas hidup kita? SEPETRTI MENDENGAR SUARA-SUARA YANG MENGHUJAT. MENUTUPI
TELINGA BERPUTAR-PUTAR. GELISAH. Stop. Stop. Kenapa kalian jadi membela bapak
dan ibu tiriku? Tindakan dan keinginanku beda benar dengan perbuatan bapak dan
ibu tiriku. Bapak dan ibu tiriku kawin, adalah keinginan setan bukan doa. Kalau
aku barulah doa,… ,… ,… Lho. Lho kenapa kalian bergembira dengan
mentertawakanku? Apa kata-kataku salah? Hak azasi dong? Prerogative dong?
Kreatif dong? Inovatif dong? Ah,… kalian bisanya tertawa melulu, benci dech
aku? Sebel dech aku, muak-muak, muaaaaaaak tahuuuu? TIBA-TIBA DIA MENANGIS
“SUASANA MUSIK DAN LAMPU IKUT MENGIRINGI KESEDIHAN HATINYA”. Tak ada yang lebih
mulya dari hati seorang ibu. Ibu adalah tetimang kita di kala kita sedang
dibenturkan masalah. Ibu adalah satu-satunya sorga dalam kehidupan dunia.
HENING. Aku pernah mukim di sebuah pondok, mendalami nilai-nilai religius.
Dimana betapa mulya posisinya seorang ibu bagi kita. Kalian tahu? Hei,… KEPADA
PENONTON. Kalian tahu tidak? Kalau tidak tau, makanya dengarkan! Kalau sudah
tau, seguru seilmu makanya jangan saling mengganggu ok? Sebab ini adalah
sesuatu yang sakral, maka aku harus berdoa dulu. MULUTNYA BERKOMAT KAMIT
SEPERTI SEDANG MERAJAH. Berapa literkah susu ibu yang terhisap dan diminum oleh
kita? Berapa kotoran kitaklah yang terkecapkan dan termakam oleh ibu kita?
Ketika ibu kita sedang makan? Dan kita menangis karcena pipis atau boker? Ibu berhenti
dari makannya. Melayani kita. Lalu ibu melanjutkan makanya. Ih,… gak kebayang
dech betapa joroknya kotoran kita termakan oleh ibu kita? SUARANYA MENINGGI.
Aku tidak mau disebut durhaka. Aku tidak mau dibilang jadah. Aku tidak mau
mengamalkan aji air susu dibalas dengan air tuba. Itulah sebabnya, kenapa aku
membunuh bapak dan ibu tiriku sekaligus. Bukan semata-mata gelap mata,
melainkan aku anak sholihah! Untuk saat ini kalian boleh tertawa atas
penjelasanku. Sebab kalian tidak pernah mengalami hal sepertiku. Doaku pada
kalian; cepat-cepatlah kalian mengalami kisah sepertiku, biar tau mana hitam,
mana putih, mana yang namanya abu-abu. HENING. Pada suatu malam nan lembab,
panjang dan dingin. Ketika seakan-akan benda-benda yang ada dihadapanku
bergoyang. Atas kabar kematian ibuku, aku mendengar, aku melihat
seulas senyum tersungging dari bibir bapak yang tebal, berlapis nikotin. Aku tak paham, tentang sesunging senyum itu, apakah ia berusaha
menenangkan pikiranku? Aku bukanlah orang baik, tapi aku berusaha menjadi baik.
Di luar sepengetahuan bapak dan ibuku; aku adalah pencadu narkoba, peminum
minum-minuman keras, sesekali aku main permpuan dan judi, sebagai tambahanya.
Jalan hidup yang aku tempuh, bagiku adalah wajar dan syah untuk dilakukan,
sebab hidup adalah pilihan bukan? Seperti kedua orang tuaku yang memaksaku
harus kuliah, demi sebuah prestisius di kehidupan bermasyarakat. Dan
keinginan-keinginan yang bergejolak di kedalaman dada ini, adalah fitrahNya
yang diberikan pada kita? Kalian boleh lho mencontoh dan meniru atau menjadi
imitasiku? Atau meniru hidup seperti ibuku? Ibuku lahir dari keluarga
terpandang, displin ilmunya tinggi, pemahaman nilai-nilai religiousnya sangat
mantap. Kekayaan orang tuanya tak tertandingi di kota ini. Namun itu semua tidak
menjadikan sosok ibu lupa pada nilai-nilai nas Sang Pencipta. HENING. Sedang
bapaku, lahir dari kalangan strata sederhana. Ia adalah sopir pribadi ibuku,
dikala ibuku masih perawan. Entah kenapa, siapa yang memulai, siapa yang
menanamkan benih-benih cinta di hati mereka, posisi majikan dan pembatu,
--berubah gembira: menjadi pasangan suami istri. Sampai akhirnya aku terlahir
sebagai anak pertama, yang memilih hidup di jalur generasi koplo. Lima tahun
berselang; lahirlah adiku satu-satunya. Adikku berjenis kelamin perempuan.
Kecantikanya, sama seperti ibuku. Untungnya bibir adiku tipis. Tak kebayang
kalau bibirnya tebal sepeti bapaku? Pasti adikku akan disebut sibibir jeding
olehku? HENING. Aku sangat menyayangi adiku. Kemanapun ia pergi, aku kerap
berada disampingnya. Walau awal-awal kelahiranya; aku sangat dibikin cemburu,
sebab ibu dan bapaku jadi lebih perhatian pada dia. Adikku bernama Lastri
Kinasih. HENING Kata ibuku: Lastri diambil dari kata lestari dan Kinasih
diambil dari kata KEPADA PENONBTON Apa coba? Nah. Betul! Seratus, tus, tus,…
dari kata kasih. Dimana penjabaran ibuku selanjutnya; Lastri Kinansih adalah
sifat Sang Pencipta yang selalu menggabulkan doa-doa kita? Terutama doaku yang
telah dikabulkaNya, --atas pembunuhan bapak dan ibutiriku. Betapa indah kasih
Sang Pencipta. Betapa nikmat kepercayaan Sang Pencipta yang dibebankan di
pundakku; aku bertindak sebagai algojoNya, untuk mencabut nyawa bapak dan ibu
tiriku sekaligus dalam hari itu juga. HENING. KETAWA Lastri kecil
perlahan-lahan tumbuh menjadi bunga desa. Kencantikanya harum mewangi,
--menjadi momok sekampung. Sempat beberapa kali, Lastri hendak menjadi korban
pemerkosaan, tapi untunglah aku kerap memergokinya. Bukan hanya hendak
diperkosa oleh teman-temanya. Orang asing. Bahkan bapaku sendiri. Sejak saat
itu, naluriku untuk membunuh tumbuh secara diam-diam; semua laki-laki yang
mencoba melakukan tindak kriminal pada Lastri, tak ada yang selamat di
tanganku; aku habisi nyawa mereka. Aku membunuhnya. Lastri tahu semuanya, namun
Lastri diam. Dia tidak melaporkanku pada yang berwajib. Bahkan, ketika aku
memergoki bapak mau memperkosanya, Lastri membela bapaku: “mas
jangan sampai ibu tau tentang hal ini. Cukuplah kita saja yang tahu, kasian
ibu. Pasti ibu syok berat mendengarnya? Lastri mohon sekali lagi padamu mas,
Lastri mohon, bapak kita jangan kau bunuh, seperti lelaki-lelaki lainya?” Begitulah permohonan Lastri padaku. HENING. Detik jam,
mendorong usia bumi. Bunga-bunga layu di mata. Usia dimakan masa. Ketika cinta
sedang menuju puncaknya, kami sekeluarega tak bisa memandang dengan jernih.
Kematian ibukulah, pangkal dari semua ini. Lastri syok atas kematian ibu.
Jangankan Lastri, aku sendiri pun mewek termehek-mehek, --tato, anting dan
rambut gimbalku, tak bisa menahan air mataku yang jatuh di hadapan jasad ibuku.
HENING. Satu hari kemudian, dari kematian ibuku; barulah bapaku menikah
kembali, Lastri kian defresi, sering tertawa sendiri, mukanya garang. Sesekali
terlihat sendu. MENITIKAN AIR MATA. HENING. Hari berikutnya, setelah kami dikenalkan
dengan ibu tiri kami; bapakku mengusir kami, dengan alasan tak ada hak waris
untuk kami. Yang lebih menyakitkan, bahwa kami bukan darah dagingnya? Itulah
sebabnya mengapa bapak berani melahirkan tindakan pemerkosaan pada Lastri?
BANGKIT. BERANG. SEPERTI MENCEKIK LEHER BAPAKNYA. Bangsat. Asu. Jancuok.
Orangtua biadab. Leher bapakku, aku cekik sekuat tenaga; namun adiku berteriak,
bangkit dari duduknya: “ingat mas, mungkin ini sudah jalan takdir
kita? mesti mas pernah bercerita tentang proses kelahiran kita yang sama keluar
dari rahim ibu kita dan lelaki yang dihadapan kita saat ini, --selama ini, kita
menyebutnya bapak kita? Bisa jadi, perkataan lelaki ini, benar adanya?” HENING. Dengan berat hati pikir dan rasa; hari itu juga, kami
meninggalkan rumah besar ala arsitektur belanda. Kata almarhum ibuku, rumah itu
sebagai hadiah perkawinan dari kedua orang tuanya yang kini sudah sama-sama
tidur tenang di kedalaman tanah bersama ibuku. Kami tidak mengetahui alasan
yang pasti, mengapa rumah itu jadi hak milik bapaku? Terlebih-lebih lagi,
ketidakmengertianku; mengapa kami, tidak mewarisi darah daging bapakku? Apkah
mungkin lelaki yang kusebut bapaku itu mandul? Lalu siapa bapak kami yang
sebenarnya? Malam itu, bagi kami laksana kawah luka. Figure Bapak yang tegas.
Sosok ibu yang nyantri, semuanya lenyap, ditelan duka raya. Tak ada kebanggaan
dengan nilai-nilai. Kami berjalan menyusuri jalan hitam, melewati hutan
lambang. Tiba dipersimpangan, tiga kelokan dari kost, di dekat tempatku kuliah:
sambil istirahat; Lastri membuka percakapan “mas, mungkin ini
sebabnya, mengapa ibu mau menikahi bapak, --padahal bapak sopirnya ibu? Adakah
ibu kita sebinal itu, hamil diluar nikah, sebelum kawin dengan bapak? Dan kau
mas, bukan anak bapak? Pun demikian aku, bukan anak bapak pula, lantas siapa
bapak kita sebenarnya mas? Adakah lelaki yang dianggap bapak kita selama ini,
adalah penutup aib ibu kita? Bukankah dia, dulunya sopir ibu kita? Dan rumah
itu adalah pil tutup mulut buat lelaki yang selama ini kita anggap sebagai
bapak?” Aku tak bisa menjawabnya dengan tegas, nyaris
tak ada jawaban, selain suara nafasku, kian tak terpacu degupnya. Bahkan saat
itu, aku takut dengan suara nafasku sendiri. “mas, kau masih ingat,
ketika bapak mau memperkosaku? Waktu itu, kau hendak membunuhnya demi
kehormatanku, namun aku melarangnya untuk kau habisi? Kini sudah jelas
semuanya, bahwa dia bukan bapak kita. Mas, mengapa tidak kau bunuh saja dia
sekarang?” Mendengar pemaparan berikutnya, naluri
membunuhku gairah kembali, dalam hatiku, aku menyanggupi keinginan adiku itu.
Satu minggu kemudian, tanpa sepengetahuan Lastri, aku membunuh bapak dan ibu
tiriku. BEREKPRESI MEMPRAKTEKAN MEMBUNUH. Agh,… agh,… dengan tujuh kali tusukan
yang tepat mengena, di arah jantung bapak, bapak mati dengan belati. Sedangkan
ibu tiriku, aku tebas lehernya dengan golok, sampai putus. Aku sudah terbilang
professional untuk membunuh, tak ada jejak yang aku tinggalkan untuk di dengus
polisi. Semua berjalan lancar dan sempurna; sampai aku kembali ke rumah
kostanku di kota; tak satupun yang tahu, bahwa akulah pembunuhnya, termasuk
Lastri. Tiga hari dari sana, orang sekampung digegerkan dengan bau bangkai yang
tidak lain dari rumah kami. Tetangga yang tau tempat kami bermukim, memberitahu
kami; bahwa kemungkinan besar, --berdasarkan penyelidikan polisi, rumah
orangtua kami kemasukan rampok. Memang benar, disamping aku membunuh mereka;
aku pun merampoknya, yah,… lumayanlah, untuk bekal kami hidup di kota.
Wajarkan? Anak yang dibuang gitchu lho? Sampai penyelidikan polisi usai. Sampai
kami kembali kerumah tersebut. Lastri tidak tau, bahwa itu semua atas
perbuatanku yang mengabulkan doanya. “Sang Pencipta telah
membalaskan dendam untuk kita Lastri?” Itu kata-kata
terindah yang keluar dari rahim mulutku, untuknya. Lastri tak berkomentar.
HENING. Hari melipat hari. Gulungan ingatan. Detik jam mengubah segalanya; aku
melihat Lastri kian seperti aku. Perangainya yang lembut mirip kebijakan ibu
dalam berbagai hal; berubah total menjadi 180 derajat, aku heran, apa yang
harus aku larang, sementara ucap dan lakuku pun bukan contoh yang baik bagi
Lastri? Sempat aku berfikir, adakah aku dan Lastri, mewarisi darah psikopat,
darah pemberangus, darah pemabuk, darah Dracula dari ibu atau bapak kandungku
yang asli, berdasarkan cerita lelaki itu, yang selama ini kami anggap sebagai
bapak kandungku sendiri? Entahlah. Kini Lastri suka mabuk-mabukan, tak ada lagi
ayat-ayat kauniah yang keluar dari mulutnya, bila menjelang senja. Lastri jadi
rakus. Liar. Ganas. Serta sudah lupa antara hubungan darah, sampai akhirnya
kami melambang sari. Di sisi lain, kali pertama kami melakukan gituan, ada
perasaan tak nyaman. Yah, takut-takut gitu dech, gelisahnya seperti kali
pertama aku membunuh, tapi kesininya jadi ketagihan lho? Iiiih,… gereget dech
aku: gereget, geret dan gereget,… banget, ---bila Lastri mualai merajuk. SADAR.
Oh, hampir saja lupa: di sisi lain, aku punya kebanggan tersendiri, --sebagai
naluriku seorang laki-laki; aku merasa bangga bisa menjebol gawang perawan
bunga desa. MEMPERAKTEKKAN SENGGAMA. HENING. Di malam yang lain setelah pesta
koplo yang dibasuh nafsu purbawi, sebagai kesempurnaan pesta. Tanpa sadar, aku
bercerita pada Lastri, bahwa akulah yang telah menmbunuh bapak dan ibu tiri
kami. HENING. Pagi hari nan bening, ketika kicau burung dan hangat mentari
menyapa seluruh penghuni bumi bagian timur, bukan barat. Ketika aku sedang
terlelap tidur, lagi asyik-asyiknya bermimpi dengan bidadari; sepasukan polisi
mengepung rumah kami dan aku ditangkapnya. Tak ada celah untuk aku meloloskan
diri dari kepungan polisi. Di berada rumah, ketika tanganku
lemah dalam borgol; aku lihat, sesungging senyum seorang lelaki, yang selama
ini kami anggap bapak, mekar dibibir Lastri.
Apakah ia berusaha menenangkan pikiranku? BERTERIAK. Agh,… bajingan kamu
Lastri. Kau khianat. Bangsat! Bukankah semua kematian mereka, atas keinginan
doa-doamu selama ini? Bedebah! Jancuok!
***101208***
________
Catatan: teks dalam naskah ini bisa dirubah oleh si penggarap, --dengan tidak mengurangi benang merahnya.
____________
lintang Ismaya, salah satu nama pena dari sembilan nama pena yang dimiliki oleh Doni Muhamad Nur. Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979. Alumni STSI bandung pada jurusan teater. Masih membujang. Puisi, cerpen, laporan reportase, esai, kritrik seni yang ditulisnya tersebar di berbagai media cetak, baik terbitan lokal, daerah maupun nasional. Disamping itu, ia juga menulis novel, naskah sinetron dan film. Sesekali menyutradarai teater, videoclip dan sinetron.
________
Catatan: teks dalam naskah ini bisa dirubah oleh si penggarap, --dengan tidak mengurangi benang merahnya.
____________
lintang Ismaya, salah satu nama pena dari sembilan nama pena yang dimiliki oleh Doni Muhamad Nur. Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979. Alumni STSI bandung pada jurusan teater. Masih membujang. Puisi, cerpen, laporan reportase, esai, kritrik seni yang ditulisnya tersebar di berbagai media cetak, baik terbitan lokal, daerah maupun nasional. Disamping itu, ia juga menulis novel, naskah sinetron dan film. Sesekali menyutradarai teater, videoclip dan sinetron.