DRAMA
CINTA SEGI TIGA PARA AKTOR
karya Jek Sperrow
KISAH CINTA YANG LAIN
Drama Semmi Ikra Anggara
PANGGUNG MENUNJUKAN TAMAN PAGI HARI. DI BAGIAN BELAKANG TERDAPAT TEMPAT DUDUK YANG TERBUAT DARI TEMBOK MEMBENTUK HURUP U. NAMPAK WILLY DAN PUTRI SEDANG MELAKUKAN PEMANASAN LATIHAN TEATER.
baca juga: kisah Antigone
Willy: Malam yang buruk, aku tak bisa tidur.
Putri: Pementasan tinggal satu minggu lagi jagalah kesehatanmu.
Willy: Apa lagi ya, yang harus kujual. Komputer sudah tak ada, tinggal prinannya doang. Uang hasil jual buku tidak bisa menutupi ongkos produksi.
Putri: Bagaimana kabar terakhir dari Pak Faisal, katanya dia mau jual tiket sama murid-muridnya.
Willy: Faisal itu bajingan, aku bilang harga tiket 10 ribu, dia bilang ok, namun dia juga bilang untuknya 7 ribu, untuk kita 3 ribu.
Putri: Masa enggak bisa dinego lagi.
Willy: Sudah.
Putri: Lalu?
Willy: Hanya nambah gopek.
Putri: 6500 untuk dia, sisanya untuk kita?
Willy: Ya.
Putri: Nanti aku bilangin, kalau kita mau fifty-fifty.
Willy: Faisal itu mata duitan, apa semua PNS mata duitan ya?
Putri: Maklum lah gaji guru kan kecil, wajar aja dia nyari untung besar dari pementasan kita.
Willy: Harusnya dia merasa diuntungkan dengan tawaran apresiasi kita, dia kan guru kesenian yang bodohnya minta ampun. Bahan pelajaran drama aja hanya dijadikan hapalan, dia juga tidak bisa melukis.
Putri: Dia bisa melukis.
Willy: Ya, hanya melukis gunung, sawah dan sungai. Dari dulu nggak ada perkembangan.
Putri: Cukup, hanya untuk anak SMA.
Willy: Tidak, anak SMA sekarang cerdas-cerdas mereka butuh sekedar dari itu. Kalau gurunya bodoh dan nggak bisa jadi inspirator, mereka jadi kebingungan. Oleh sebab itulah secara formal susah sekali pendidikan kita melahirkan seniman. Terus kalau anak SMA lulus dan mau jadi seniman mereka bingung mau kuliah kemana, sedang pendidikan tinggi seni hanya dijadikan tempat sampah.
Putri: Tempat sampah apa?
Willy: Lho, lihat. Orang-orang yang masuk sekolah seni itu orang-orang bingung, mereka habis gagal masuk kedokteran, tidak mampu jadi insinyur melarikan diri atau memaksakan diri jadi seniman.
Putri: Istitusinya sendiri yang salah. Mereka terlalu murahan untuk memasukan mahasiswa baru, asal ikut tes langsung lulus.
Willy: Ya, itu kan untuk kepentingan akreditasi. Memang sekarang ini sukar sekali menemukan mahasiswa seni yang mumpuni; nyeni sekaligus intelektual. Penandanya bisa kita lihat, pada setiap ujian akhir. Ujian akhir tak lebih sebagai sarana pembuangan limbah.
Putri: Bagaiamana dengan adikmu yang ngambil spesialis keaktoran itu, sudah lulus?
Willy: Ah, payah! Setelah pegang kamera orientasinya jadi enggak jelas. Maen teaternya enggak berkembang, rajin bikin film cuma ya, gimana gitu...
Putri: Nanti juga dia jadi filmmaker yang baik.
Willy: Tapi koq ketika bikin film, pelajaran dramaturginya enggak ngefek gitu ya. Atau akunya yang bego kali, tapi dia cukup berbakat bikin film dokumentasi
Putri: Bisa buat film dokumentasi kawinan dong?
Willy: Dokumentasi kawinan siapa?
Putri: Hehe...
Willy: Dokumentasi kawinan kita dong, hehe...
( WILLY MENDEKAP TUBUH PUTRI DAN MEMBAWANYA KE BANGKU BELAKANG, MEREKA BERCIUMAN )
Willy: Kalau sudah mencium kamu semua beban terasa ringan. Ongkos produksi jadi lupa.
Putri: Cium lagi.
( MEREKA BERCIUMAN LAGI. DATANG EDI DARI ARAH KANAN DENGAN MENGGUNAKAN SEPEDA ONTEL)
Edi: Maaf, aku terlambat.
Willy: Hey Edi, kami juga baru pemanasan.
Putri: Yang lain juga belum pada datang, kau kena macet ya, mukamu lusuh sekali?
Edi: Sial sekali pagi ini, aku nabrak anak SMA.
Putri: Lalu bagaimana?
Edi: Untungnya tidak apa-apa, lutunya Cuma lecet-lecet doang, cukup diobati pake betadin. Kebetulan juga tadi ada anak pecinta alam yang lagi longmarch, jadi anak SMA yang kutabrak itu langsung mereka obati.
Willy: Edi anak SMA yang kau tabrak itu cewek ya?
Edi: Ya.
Willy: Tepat seperti mimpiku tadi malam! Itu artinya sudah saatnya kau punya pacar, tidak bagus jadi jomblo tahunan.
Edi: Kau memimpikanku?
Willy: Ya.
Edi: Koq bisa.
Willy: Kita sudah lama berteman kawan.
Edi: Apa lagi yang kau impikan tentangku?
Willy: Apa lagi ya, dalam mipimpiku aku berfikir kalau namamu tak layak, ya namamu tak layak jadi Edi. Edi adalah nama yang tak layak.
Edi: Maksunya apa?
Willy: Aku juga tidak mengerti, barangkali namamu tidak bagus untukmu. Atau kau mungkin, sebaiknya berganti nama dengan Rosyid, Toni, Bambang, Yoyo atau nama yang lain. Yang penting ganti nama.
Putri: Ah ngawur aja, barangkali itu Cuma bunga mimpi. Nggak ada hubungannya dengan kehidupan Edi sesunggunhya.
Willy: Iya sih aku sendiri nggak terlalu percaya mimpi. Kamu Ed?
Edi: Sama.
Willy: Kemana ya yang lain, sudah telat satu jam nih. Ah, aku beli minum dulu deh.
(WILLY EKSIT. EDI DAN PUTRI SALING BERDEKAPAN)
Edi: Semalam aku tak bisa tidur. Hujan deras, aku gelisah sekali.
Putri: Kenapa kau tak menelponku?
Edi: Aku tak punya pulsa.
Putri: Sayang.
Edi: Dia sudah tahu?
Putri: Belum, aku bingung mengatakannya. Aku takut sekali.
Edi: Aku yang akan bilang.
Putri: Jangan dulu. Tunggu sampai pementasan.
Edi: Sekarang saja, supaya dia tahu dan kita bisa tenang.
Putri: Jangan egois, kita tenang dan dia frustasi. Dia bisa saja bunuh diri, kita harus
hati-hati.
Edi: Bagaimana dengan kandunganmu?
Putri: Sudah makin terasa. Semalam aku mual-mual lagi.
Edi: Jagalah kesehatanmu, supaya ketika lahir dia akan sehat-sehat saja. Apakah sudah ada semacam tendangan-tendangan dari dalam sana.
Putri: Belum sayang, kakinya belum terbentuk. Sebentar lagi.
Edi: Semalam ibuku menanyakan lagi, kapan aku menikah. Dia juga menanyakanmu?
Putri: Sungguh?
Edi: Ibuku sedang kurang sehat, kalau kau ke rumah aku kira dia akan lebih baik.
Putri: Aku akan ke rumahmu setelah latihan.
Edi: Ada kabar baik yang lain.
Putri: Apa?
Edi: Aku diterima jadi PNS?
Putri: Syukurlah.
Edi: Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.
Putri: Aku juga.
(MEREKA BERPELUKAN. WILLY DATANG)
Willy: Kalian sudah mulai adegan?
Edi: Oo...mm, kami mencoba latihan parsial.
Willy: Tadi kita baru pemanasan sayang, jangan meninggalkan kebiasaan.
Putri: Iya sayang, aku cuma mengira karena yang lain takkan jadi latihan aku mulai adegan yang itu.
Willy: Iya nih, sialan! Si Udin enggak bisa latihan, rumahnya kena banjir jadi dia harus nyelametin barang-barangnya. Si Eneng juga ada rapat dadakan di kantornya, padahal harusnya libur. Si Asep neneknya sakit jadi harus pergi ke Tasik.
Edi: Bukannya neneknya si Asep di Garut?
Willy: Sekarang pindah ke Tasik? Tapi Si Wawan mau datang cuma telat, jadi kita bisa latihan dari adegan pertama. Yuk, olah tubuh dulu.
(MEREKA LARI-LARI KECIL, DI TENGAH AKTIVITAS ITU PUTRI MENGALAMI SAKIT DI PERUTNYA)
Edi: Putri kenapa kau?
Putri: Perutku sakit.
Willy: Paksakan, nanti kekuatan fisikmu bertambah.
(MEREKA TERUS BERLARI, PUTRI MENGERANG LEBIH HEBAT)
Edi: Putri?!
Willy: Jangan manja.
(PUTRI RUBUH)
Edi dan Willy: Sayang?!
Willy: Sayang, kamu belum makan ya?
Putri: Sakit sekali perutku.
Willy: Berbaring saja dulu, minum air putih.
Edi: Kamu harus mulai istirahat lebih banyak?
Willy: Tau apa kau?!
Edi: Dia kecapean.
Willy: Darimana kau tahu kalau dia kecapean.
Edi: Jadwal latihan kita terlalu padat.
Willy: Satu minggu lagi kita pementasan apa maksudmu jadwal kita terlalu padat?!
Edi: Untuk kita tidak terlalu padat, untuk dia.
Willy: Apakah kelompok teater ini memiliki artis yang diistimewakan, sehingga ketika sebagian besar latihan tiap hari dan seorang perempuan hanya latihan satu minggu tiga kali?
Edi: Dalam waktu dan kondisi tertentu ya!
Willy: Bisa kau jelaskan bagaimana waktu dan kondisi tertentu itu?
Edi: Misalnya ketika dia sudah tidak sendiri.
Willy: Apa?
Edi: Ketika seseorang hamil misalnya.
Willy: O, tentu saja aku bukan seorang patriaki yang memaksakan seorang perempuan hamil melakukan latihan berat dalam waktu seharusnya ia istirahat.
Edi: Aku kira kita harus membuat jadwal yang lebih demokratis.
Willy: Ini hasil kesepakatan kita babi!
Edi: Kesepakatan yang terutama menguntungkanmu sebagai sutradara dan penulis naskah.
Willy: Hey, apa yang kau mau.
Edi: Bikin jadwal baru,biarkan Putri istirahat.
Willy: Tentu, tetapi...
Edi: Aku akan membawanya ke klinik.
Willy: Apa maksudmu?
Edi: Willy, Putri sudah empat bulan.
Willy: Anjing! Jaga mulutmu.
Putri: Sayang!
Willy: Iya, sayang.
Putri: Maukah kau memaafkanku?
Willy: Kau tidak berbuat kesalahan apapun, toh jika pun begitu tentu akan memaafkanmu.
Putri: Tolong dengarkan aku. Bukankah kau pernah membaca puisi-puisiku?
Willy: Ya, puisi-puisimu terlalu mendramatisir segala sesuatu dan juga meragukan segala sesuatu.
Putri: Juga meragukan kesetiaan.
Willy: Begitukah?
Putri: Willy, ada si kecil dalam perutku.
(WILLY MENGAMUK)
Willy: Siapa melakukan itu?
Putri: Jangan sakiti dia.
Edi: Willy, maaf, kami tiba-tiba saling mencintai. Aku ayah dari janin dalam tubuh Putri.
Willy: Bangsat!
(WILLY MEMUKULI EDI, EDI DIAM SAJA)
Putri: Sayang!
Willy: Masalahnya dimana?
Putri: Aku yang salah.
Willy: Apakah karena aku terlampau dominan dalam kelompok teater ini, sehingga kalian bersekutu untuk membunuhku. Edi, beginikah caramu. Aku benci sesunggunhya jika kelompok teater ini bertumpu pada sosok tunggal, tapi bukankah aku juga selalu memberikan penawaran supaya kita kerja bersama; menentukan masalah bersama, menulis naskah bersama, menyutradarai bersama, bermain bersama. Bukankah aku selalu memberikan penawaran-penawaran itu. Namun faktanya kalian memang senang hanya mengikuti saja. Kalian orang-orang teater bermental babu. Tapi sekarang apakah kita sedang benar-benar membicarakan itu?
Edi: Willy, tolong dengarkan aku. Barangkali ini untuk yang terakhir kalinya kau mendengarku. Sungguh aku juga merasa tolol, menjadi pengkhianat bagi teman sendiri. Semua ini terjadi tidak dengan sengaja.
Willy: Sejak kapan semua ini dimulai?
Edi: Sejak garapan Romeo and Juliet. Kau menyuruh aku dan Putri beradegan di ranjang, kami saling berdekapan. Ketika kau takada, kami mencoba latihan sendiri. Sejak itulah ada perasaan aneh datang, entah apa namanya.
Willy: Cinta!
Edi: Willy?
Willy: Ya, Cinta. Bisa tumbuh dan menumbuhkan, tapi juga bisa membuat yang lain rubuh. Tapi aku tidak dibuat dari baja dan batu! Oo..aku sakit sekali, sangat sakit.
Putri: Maafkan aku.
Edi: Maafkan kami.
Willy: Apakah aku mampu memaafkan diriku sendiri.
(PUTRI MEMELUK KAKI WILLY DAN MENANGIS)
Putri: Sayang, semuanya salah kami. Ini benar-benar tak terduga.
(TUBUH WILLY MENEGAK MENAHAN SAKIT HATI, PUTRI MULAI MUAL DAN MERASAKAN SAKIT DI PERUTNYA, EDI MENARIK TUBUH PUTRI. LAMA TAK ADA PERCAKAPAN)
Willy: Begini memang harusnya. Mmm, poster sudah disebar, kita akan pentas tiga kota. Khusus untuk Putri sebaiknya naik pesawat, yang lain naik kereta ekonomi.
Putri: Biar untukku aku cari onkos sendiri.
Willy: Jangan, aku yang nyari. Kayaknya motor Mio-ku harus dijual.
Edi: Will, kau belum dengar baik tentangku kan?
Putri: Dia jadi PNS.
Edi: Bukan yang itu sayang. Willy, tiga hari lalu kan nenekku meninggal...
Willy: Oh! Aku ikut berduka.
Edi: Dan aku dapet warisan, uang 100 Juta. Cukup untuk pentas tiga kota.
Willy: Sungguh? Ya, bagus kalau kau sedang kaya. Sekarang antarkanlah dulu Putri ke klinik, takut ada apa-apa dengan kandungannya.
Edi: Baik kawan.
(PUTRI DAN EDI HENDAK PERGI)
Willy: Edi, Putri. Jika anak itu lahir nama belakangnya kasihlah namaku.
Edi: Ya, Willy aku berjanji. Lagipula nama belakangmu cocok baik untuk anak laki-laki, maupun perempuan.
Willy: Edi, nama yang bagus. Aku kira, namamu sebaiknya tetap Edi. Tidak usah diganti.
Edi: Ya, satu minggu lagi kita pentas.
(PUTRI DAN EDI BENAR-BENAR PERGI)
Willy: Kenapa tiba-tiba ada kilat yang terlalu besar, ya Tuhan aku tak siap. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Lebih baik aku mati daripada hidup tanpa Putri. (DIA NAIK KE BANGKU BELAKANG DAN HENDAK MENGGANTUNG DIRI). Oo..kalau aku gantung diri, poster pementasan teaterku sudah disebar. Nanti sajalah gantung dirinya setelah pentas, khan enggak enak sama calon penonton. Lagipula bagaimana kalau aku gantung diri tapi tidak masuk koran. Aku kan aktor medioker, kemaren aja ada aktor senior meninggal koran cuek-cuek aja, apa pentingnya aktor teater? Pentas tinggal seminggu lagi, harus jadi, harus jadi, jangan mati, jangan mati, jangan bunuh diri. Aktor teater ditinggal kawin standar...ayo terus latihan, terus berproses...
(WILLY TERUS OLAH TUBUH SAMBIL MERATAP)
Drama Semmi Ikra Anggara
PANGGUNG MENUNJUKAN TAMAN PAGI HARI. DI BAGIAN BELAKANG TERDAPAT TEMPAT DUDUK YANG TERBUAT DARI TEMBOK MEMBENTUK HURUP U. NAMPAK WILLY DAN PUTRI SEDANG MELAKUKAN PEMANASAN LATIHAN TEATER.
baca juga: kisah Antigone
Willy: Malam yang buruk, aku tak bisa tidur.
Putri: Pementasan tinggal satu minggu lagi jagalah kesehatanmu.
Willy: Apa lagi ya, yang harus kujual. Komputer sudah tak ada, tinggal prinannya doang. Uang hasil jual buku tidak bisa menutupi ongkos produksi.
Putri: Bagaimana kabar terakhir dari Pak Faisal, katanya dia mau jual tiket sama murid-muridnya.
Willy: Faisal itu bajingan, aku bilang harga tiket 10 ribu, dia bilang ok, namun dia juga bilang untuknya 7 ribu, untuk kita 3 ribu.
Putri: Masa enggak bisa dinego lagi.
Willy: Sudah.
Putri: Lalu?
Willy: Hanya nambah gopek.
Putri: 6500 untuk dia, sisanya untuk kita?
Willy: Ya.
Putri: Nanti aku bilangin, kalau kita mau fifty-fifty.
Willy: Faisal itu mata duitan, apa semua PNS mata duitan ya?
Putri: Maklum lah gaji guru kan kecil, wajar aja dia nyari untung besar dari pementasan kita.
Willy: Harusnya dia merasa diuntungkan dengan tawaran apresiasi kita, dia kan guru kesenian yang bodohnya minta ampun. Bahan pelajaran drama aja hanya dijadikan hapalan, dia juga tidak bisa melukis.
Putri: Dia bisa melukis.
Willy: Ya, hanya melukis gunung, sawah dan sungai. Dari dulu nggak ada perkembangan.
Putri: Cukup, hanya untuk anak SMA.
Willy: Tidak, anak SMA sekarang cerdas-cerdas mereka butuh sekedar dari itu. Kalau gurunya bodoh dan nggak bisa jadi inspirator, mereka jadi kebingungan. Oleh sebab itulah secara formal susah sekali pendidikan kita melahirkan seniman. Terus kalau anak SMA lulus dan mau jadi seniman mereka bingung mau kuliah kemana, sedang pendidikan tinggi seni hanya dijadikan tempat sampah.
Putri: Tempat sampah apa?
Willy: Lho, lihat. Orang-orang yang masuk sekolah seni itu orang-orang bingung, mereka habis gagal masuk kedokteran, tidak mampu jadi insinyur melarikan diri atau memaksakan diri jadi seniman.
Putri: Istitusinya sendiri yang salah. Mereka terlalu murahan untuk memasukan mahasiswa baru, asal ikut tes langsung lulus.
Willy: Ya, itu kan untuk kepentingan akreditasi. Memang sekarang ini sukar sekali menemukan mahasiswa seni yang mumpuni; nyeni sekaligus intelektual. Penandanya bisa kita lihat, pada setiap ujian akhir. Ujian akhir tak lebih sebagai sarana pembuangan limbah.
Putri: Bagaiamana dengan adikmu yang ngambil spesialis keaktoran itu, sudah lulus?
Willy: Ah, payah! Setelah pegang kamera orientasinya jadi enggak jelas. Maen teaternya enggak berkembang, rajin bikin film cuma ya, gimana gitu...
Putri: Nanti juga dia jadi filmmaker yang baik.
Willy: Tapi koq ketika bikin film, pelajaran dramaturginya enggak ngefek gitu ya. Atau akunya yang bego kali, tapi dia cukup berbakat bikin film dokumentasi
Putri: Bisa buat film dokumentasi kawinan dong?
Willy: Dokumentasi kawinan siapa?
Putri: Hehe...
Willy: Dokumentasi kawinan kita dong, hehe...
( WILLY MENDEKAP TUBUH PUTRI DAN MEMBAWANYA KE BANGKU BELAKANG, MEREKA BERCIUMAN )
Willy: Kalau sudah mencium kamu semua beban terasa ringan. Ongkos produksi jadi lupa.
Putri: Cium lagi.
( MEREKA BERCIUMAN LAGI. DATANG EDI DARI ARAH KANAN DENGAN MENGGUNAKAN SEPEDA ONTEL)
Edi: Maaf, aku terlambat.
Willy: Hey Edi, kami juga baru pemanasan.
Putri: Yang lain juga belum pada datang, kau kena macet ya, mukamu lusuh sekali?
Edi: Sial sekali pagi ini, aku nabrak anak SMA.
Putri: Lalu bagaimana?
Edi: Untungnya tidak apa-apa, lutunya Cuma lecet-lecet doang, cukup diobati pake betadin. Kebetulan juga tadi ada anak pecinta alam yang lagi longmarch, jadi anak SMA yang kutabrak itu langsung mereka obati.
Willy: Edi anak SMA yang kau tabrak itu cewek ya?
Edi: Ya.
Willy: Tepat seperti mimpiku tadi malam! Itu artinya sudah saatnya kau punya pacar, tidak bagus jadi jomblo tahunan.
Edi: Kau memimpikanku?
Willy: Ya.
Edi: Koq bisa.
Willy: Kita sudah lama berteman kawan.
Edi: Apa lagi yang kau impikan tentangku?
Willy: Apa lagi ya, dalam mipimpiku aku berfikir kalau namamu tak layak, ya namamu tak layak jadi Edi. Edi adalah nama yang tak layak.
Edi: Maksunya apa?
Willy: Aku juga tidak mengerti, barangkali namamu tidak bagus untukmu. Atau kau mungkin, sebaiknya berganti nama dengan Rosyid, Toni, Bambang, Yoyo atau nama yang lain. Yang penting ganti nama.
Putri: Ah ngawur aja, barangkali itu Cuma bunga mimpi. Nggak ada hubungannya dengan kehidupan Edi sesunggunhya.
Willy: Iya sih aku sendiri nggak terlalu percaya mimpi. Kamu Ed?
Edi: Sama.
Willy: Kemana ya yang lain, sudah telat satu jam nih. Ah, aku beli minum dulu deh.
(WILLY EKSIT. EDI DAN PUTRI SALING BERDEKAPAN)
Edi: Semalam aku tak bisa tidur. Hujan deras, aku gelisah sekali.
Putri: Kenapa kau tak menelponku?
Edi: Aku tak punya pulsa.
Putri: Sayang.
Edi: Dia sudah tahu?
Putri: Belum, aku bingung mengatakannya. Aku takut sekali.
Edi: Aku yang akan bilang.
Putri: Jangan dulu. Tunggu sampai pementasan.
Edi: Sekarang saja, supaya dia tahu dan kita bisa tenang.
Putri: Jangan egois, kita tenang dan dia frustasi. Dia bisa saja bunuh diri, kita harus
hati-hati.
Edi: Bagaimana dengan kandunganmu?
Putri: Sudah makin terasa. Semalam aku mual-mual lagi.
Edi: Jagalah kesehatanmu, supaya ketika lahir dia akan sehat-sehat saja. Apakah sudah ada semacam tendangan-tendangan dari dalam sana.
Putri: Belum sayang, kakinya belum terbentuk. Sebentar lagi.
Edi: Semalam ibuku menanyakan lagi, kapan aku menikah. Dia juga menanyakanmu?
Putri: Sungguh?
Edi: Ibuku sedang kurang sehat, kalau kau ke rumah aku kira dia akan lebih baik.
Putri: Aku akan ke rumahmu setelah latihan.
Edi: Ada kabar baik yang lain.
Putri: Apa?
Edi: Aku diterima jadi PNS?
Putri: Syukurlah.
Edi: Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.
Putri: Aku juga.
(MEREKA BERPELUKAN. WILLY DATANG)
Willy: Kalian sudah mulai adegan?
Edi: Oo...mm, kami mencoba latihan parsial.
Willy: Tadi kita baru pemanasan sayang, jangan meninggalkan kebiasaan.
Putri: Iya sayang, aku cuma mengira karena yang lain takkan jadi latihan aku mulai adegan yang itu.
Willy: Iya nih, sialan! Si Udin enggak bisa latihan, rumahnya kena banjir jadi dia harus nyelametin barang-barangnya. Si Eneng juga ada rapat dadakan di kantornya, padahal harusnya libur. Si Asep neneknya sakit jadi harus pergi ke Tasik.
Edi: Bukannya neneknya si Asep di Garut?
Willy: Sekarang pindah ke Tasik? Tapi Si Wawan mau datang cuma telat, jadi kita bisa latihan dari adegan pertama. Yuk, olah tubuh dulu.
(MEREKA LARI-LARI KECIL, DI TENGAH AKTIVITAS ITU PUTRI MENGALAMI SAKIT DI PERUTNYA)
Edi: Putri kenapa kau?
Putri: Perutku sakit.
Willy: Paksakan, nanti kekuatan fisikmu bertambah.
(MEREKA TERUS BERLARI, PUTRI MENGERANG LEBIH HEBAT)
Edi: Putri?!
Willy: Jangan manja.
(PUTRI RUBUH)
Edi dan Willy: Sayang?!
Willy: Sayang, kamu belum makan ya?
Putri: Sakit sekali perutku.
Willy: Berbaring saja dulu, minum air putih.
Edi: Kamu harus mulai istirahat lebih banyak?
Willy: Tau apa kau?!
Edi: Dia kecapean.
Willy: Darimana kau tahu kalau dia kecapean.
Edi: Jadwal latihan kita terlalu padat.
Willy: Satu minggu lagi kita pementasan apa maksudmu jadwal kita terlalu padat?!
Edi: Untuk kita tidak terlalu padat, untuk dia.
Willy: Apakah kelompok teater ini memiliki artis yang diistimewakan, sehingga ketika sebagian besar latihan tiap hari dan seorang perempuan hanya latihan satu minggu tiga kali?
Edi: Dalam waktu dan kondisi tertentu ya!
Willy: Bisa kau jelaskan bagaimana waktu dan kondisi tertentu itu?
Edi: Misalnya ketika dia sudah tidak sendiri.
Willy: Apa?
Edi: Ketika seseorang hamil misalnya.
Willy: O, tentu saja aku bukan seorang patriaki yang memaksakan seorang perempuan hamil melakukan latihan berat dalam waktu seharusnya ia istirahat.
Edi: Aku kira kita harus membuat jadwal yang lebih demokratis.
Willy: Ini hasil kesepakatan kita babi!
Edi: Kesepakatan yang terutama menguntungkanmu sebagai sutradara dan penulis naskah.
Willy: Hey, apa yang kau mau.
Edi: Bikin jadwal baru,biarkan Putri istirahat.
Willy: Tentu, tetapi...
Edi: Aku akan membawanya ke klinik.
Willy: Apa maksudmu?
Edi: Willy, Putri sudah empat bulan.
Willy: Anjing! Jaga mulutmu.
Putri: Sayang!
Willy: Iya, sayang.
Putri: Maukah kau memaafkanku?
Willy: Kau tidak berbuat kesalahan apapun, toh jika pun begitu tentu akan memaafkanmu.
Putri: Tolong dengarkan aku. Bukankah kau pernah membaca puisi-puisiku?
Willy: Ya, puisi-puisimu terlalu mendramatisir segala sesuatu dan juga meragukan segala sesuatu.
Putri: Juga meragukan kesetiaan.
Willy: Begitukah?
Putri: Willy, ada si kecil dalam perutku.
(WILLY MENGAMUK)
Willy: Siapa melakukan itu?
Putri: Jangan sakiti dia.
Edi: Willy, maaf, kami tiba-tiba saling mencintai. Aku ayah dari janin dalam tubuh Putri.
Willy: Bangsat!
(WILLY MEMUKULI EDI, EDI DIAM SAJA)
Putri: Sayang!
Willy: Masalahnya dimana?
Putri: Aku yang salah.
Willy: Apakah karena aku terlampau dominan dalam kelompok teater ini, sehingga kalian bersekutu untuk membunuhku. Edi, beginikah caramu. Aku benci sesunggunhya jika kelompok teater ini bertumpu pada sosok tunggal, tapi bukankah aku juga selalu memberikan penawaran supaya kita kerja bersama; menentukan masalah bersama, menulis naskah bersama, menyutradarai bersama, bermain bersama. Bukankah aku selalu memberikan penawaran-penawaran itu. Namun faktanya kalian memang senang hanya mengikuti saja. Kalian orang-orang teater bermental babu. Tapi sekarang apakah kita sedang benar-benar membicarakan itu?
Edi: Willy, tolong dengarkan aku. Barangkali ini untuk yang terakhir kalinya kau mendengarku. Sungguh aku juga merasa tolol, menjadi pengkhianat bagi teman sendiri. Semua ini terjadi tidak dengan sengaja.
Willy: Sejak kapan semua ini dimulai?
Edi: Sejak garapan Romeo and Juliet. Kau menyuruh aku dan Putri beradegan di ranjang, kami saling berdekapan. Ketika kau takada, kami mencoba latihan sendiri. Sejak itulah ada perasaan aneh datang, entah apa namanya.
Willy: Cinta!
Edi: Willy?
Willy: Ya, Cinta. Bisa tumbuh dan menumbuhkan, tapi juga bisa membuat yang lain rubuh. Tapi aku tidak dibuat dari baja dan batu! Oo..aku sakit sekali, sangat sakit.
Putri: Maafkan aku.
Edi: Maafkan kami.
Willy: Apakah aku mampu memaafkan diriku sendiri.
(PUTRI MEMELUK KAKI WILLY DAN MENANGIS)
Putri: Sayang, semuanya salah kami. Ini benar-benar tak terduga.
(TUBUH WILLY MENEGAK MENAHAN SAKIT HATI, PUTRI MULAI MUAL DAN MERASAKAN SAKIT DI PERUTNYA, EDI MENARIK TUBUH PUTRI. LAMA TAK ADA PERCAKAPAN)
Willy: Begini memang harusnya. Mmm, poster sudah disebar, kita akan pentas tiga kota. Khusus untuk Putri sebaiknya naik pesawat, yang lain naik kereta ekonomi.
Putri: Biar untukku aku cari onkos sendiri.
Willy: Jangan, aku yang nyari. Kayaknya motor Mio-ku harus dijual.
Edi: Will, kau belum dengar baik tentangku kan?
Putri: Dia jadi PNS.
Edi: Bukan yang itu sayang. Willy, tiga hari lalu kan nenekku meninggal...
Willy: Oh! Aku ikut berduka.
Edi: Dan aku dapet warisan, uang 100 Juta. Cukup untuk pentas tiga kota.
Willy: Sungguh? Ya, bagus kalau kau sedang kaya. Sekarang antarkanlah dulu Putri ke klinik, takut ada apa-apa dengan kandungannya.
Edi: Baik kawan.
(PUTRI DAN EDI HENDAK PERGI)
Willy: Edi, Putri. Jika anak itu lahir nama belakangnya kasihlah namaku.
Edi: Ya, Willy aku berjanji. Lagipula nama belakangmu cocok baik untuk anak laki-laki, maupun perempuan.
Willy: Edi, nama yang bagus. Aku kira, namamu sebaiknya tetap Edi. Tidak usah diganti.
Edi: Ya, satu minggu lagi kita pentas.
(PUTRI DAN EDI BENAR-BENAR PERGI)
Willy: Kenapa tiba-tiba ada kilat yang terlalu besar, ya Tuhan aku tak siap. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Lebih baik aku mati daripada hidup tanpa Putri. (DIA NAIK KE BANGKU BELAKANG DAN HENDAK MENGGANTUNG DIRI). Oo..kalau aku gantung diri, poster pementasan teaterku sudah disebar. Nanti sajalah gantung dirinya setelah pentas, khan enggak enak sama calon penonton. Lagipula bagaimana kalau aku gantung diri tapi tidak masuk koran. Aku kan aktor medioker, kemaren aja ada aktor senior meninggal koran cuek-cuek aja, apa pentingnya aktor teater? Pentas tinggal seminggu lagi, harus jadi, harus jadi, jangan mati, jangan mati, jangan bunuh diri. Aktor teater ditinggal kawin standar...ayo terus latihan, terus berproses...
(WILLY TERUS OLAH TUBUH SAMBIL MERATAP)